Thursday, November 23, 2006

CUP or COFFEE


"Take no thought for your life, what you shall eat or drink, nor your body what you shall put on. Is not the life more than meat and the body than raiment?" Enjoy your coffee, my friend!


Di sadur dari sebuah artikel....
Sekelompok alumni sebuah universitas mengadakan reuni di rumah salah seorang profesor favorit mereka yang dianggap paling bijak dan layak didengarkan. Satu jam pertama, seperti umumnya diskusi di acara reuni, diisi dengan menceritakan (baca: membanggakan...dasar buta huruf..ee maap) prestasi di tempat kerja masing-masing. Adu prestasi, adu posisi dan adu gengsi, tentunya pada akhirnya bermuara pada berapa rupiah yang mereka punya dan kelola, mewarnai acara kangen-kangenan ini. Jam kedua mulai muncul guratan dahi yang menampilkan keadaan sebenarnya. Hampir semua yang hadir sedang stres karena sebenarnya pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi, keluarga dan situasi hati mereka tak secerah apa yang mereka miliki dan duduki (dasar muna lo...). Bahwa rupiah mengalir deras, adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang mereka kendarai serta merek baju dan jam tangan yg mereka pakai serta saham yang mereka mainkan (busyeet...tsaki lagi..tsaki lagiii). Namun dilain pihak, mereka sebenarnya sedang dirundung masalah berat, yakni kehilangan makna hidup. Di satu sisi mereka sukses meraih kekayaan, di sisi lain mereka miskin dalam menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri (naaah loo). They have money but not life (biar keren pakai english dikit..padahal katroo). Sang profesor mendengarkan celotehan mereka sambil menyiapkan seteko kopi hangat dan seperangkat cangkir. Ada yang terbuat dari kristal yang mahal, ada yang dari keramik asli Cina oleh-oleh salah seorang dari mereka, dan ada pula gelas dari plastik murahan untuk perlengkapan perkemahan sederhana (busyeet cangkir gua yang dari cina pantesan ilang..jangan-jangan cangkir gua tuuu). "Serve yourself," kata profesor, memecah kegerahan suasana (peringatan: jangan katakan hal ini pada istri anda di tempat tidur). Semua mengambil cangkir dan kopi tanpa menyadari bahwa sang profesor sedang melakukan kajian akademik pengamatan perilaku, seperti layaknya seorang profesor yang senantiasa memiliki arti dan makna dalam setiap tindakannya (dasar profesor...lanjut broo)."Jika engkau perhatikan, kalian semua mengambil cangkir yang paling mahal dan indah. Yang tertinggal hanya yang tampaknya kurang bagus dan murahan. Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah sangat normal dan wajar (menurut siapa tuuh?). Namun, tahukah kalian bahwa inilah yang menyebabkan kalian stres dan tidak dapat menikmati hidup?" sang profesor memulai wejangannya (mmmm ngantuk oaaaahm...kalo gini ntar gua titip absen aja lah). "Now consider this: life is the coffee, and the jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided,"kali ini kalimatnya mulai menekan hati. "So, don't let the cups driveyou, enjoy the coffee instead," demikian ia berkata sambil mempersilakan mereka menikmati kopi bersama. Sesederhana itu rupanya. Profesor yang bijak selalu membuat yang sulit jadi mudah, sedangkan politikus selalu membuat yang mudah jadi sulit. Betapa banyak di antara kita yang salah menyiasati hidup ini dengan memutarbalikkan kopi dan cangkir. Tak jelas apa yang ingin kita nikmati, kopi yang enak atau cangkir yang cantik. Ada tiga tipe pekerja (baca: profesional dan pengusaha...halah banyak kali aturannya) yang seringkita lihat dalam menyiasati kopi dan cangkir kehidupan ini. Pertama, pekerja yang sibuk mengejar pekerjaan, jabatan yang akhirnya hanya bertumpu pada kepemilikan jumlah dan kualitas cangkir kehidupan. Paradigmanya sangat sederhana, semakin banyak cangkir yang dipunyai, semakin bercahaya. Semakin bagus cangkir yang dimiliki akan mengubah rasa kopi menjadi enak. Fokus hidup hanya untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas cangkir. Ini yang menyebabkan terus terjadinya persaingan untuk menambah kepemilikan. Sukses diukur dengan seberapa banyak dan bagus apa yang dimiliki. Kala yang lain bisa membeli mobil mewah, ia pun terpacu mendapatkannya. Alhasil, tingkat stres menjadi sangat tinggi dan tak ada waktu untuk membenahi kopi. Semua upaya hanya untuk bagian luar, sedangkan bagian dalam semakin ketinggalan. Kedua, pekerja yang menyadari bahwa kopinya ternyata pahit -- artinya hidup yang terasa hambar; penuh kepahitan, dengki dan dendam; sertatak ada damai dan kebahagiaan -- mencoba menutupnya dengan menyajikannya dalam cangkir yang lebih mahal lagi. (tulalit...tabahin gula bro..)Pikirannya juga sangat mudah, kopi yang tidak enak akan terkurangi rasa tidak enaknya dengan cangkir yang mahal. Rasa kurang dicintai rekan kerja, dikompensasi dengan mengadopsi anak asuh dan angkat, mencintai istri tetangga...dsb. Tak menghiraukan lingkungan, ditutup halus dengan program environmental development yang harus diresmikan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Tak memperhatikan orang lain dengan tulus, dibalut dengan program community development yang wah. Tak memperhatikan istri ditutup dengan apa ya...? tau aah ngaco. Kalau tidak hati-hati, akan muncul pengusaha kaum Farisi yang munafik, bagai kubur bersih, tapi di dalamnya sebenarnya tulang tengkorak yang jelek dan bau. Ketiga, ada pula pekerja yang berkonsentrasi membenahi kopinya agar lebih enak, semakin enak dan menjadi sangat enak. Tipe ini tak terlalu pusing dengan penampilan cangkir. Pakaian yang mahal dan eksklusif tak mampu membuat borok jadi sembuh. Makanan yang mahal tak selalu membuat tubuh jadi sehat, malahan yang terjadi acap sebaliknya. Fokus pada kehidupan dan hidup menyebabkan ia dapat santai menghadapi hari-hari yang keras. Ia tak mau berkompromi dengan pekerjaan yang merusak martabat, sikap dan kebiasaan. Menyuap yang terus-menerus dilakukanhanya akan membuat dirinya tak mudah bersalah kala disuap. Fokus pada kopi yang enak, membuat ia tak mudah menyerah pada tuntutan pekerjaan, tekanan target penjualan yang mengontaminasi karakternya. Baginya, ini adalah kebodohan yang tak pernah dapat dipulihkan. Profesor lain lagi pernah berpetuah, "Take no thought for yourlife, what you shall eat or drink, nor your body what you shall puton. Is not the life more than meat and the body than raiment?" Profesor yang lain lagi pernah juga berpetuah,"so what gitcu looh...cape deeh." Kalau kita tidak sadar, kita bakal terjerembab: mengkhawatirkan cangkir padahal seharusnya kita fokus pada kopi. Enjoy your coffee, my friend! kalo di starbucks ya look at your wallet dulu...jijay lah mo gaya nggak ada money.

No comments:


KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia blog-indonesia BlogFam Community